Adolf Bastian Butarbutar
Sekolah Tinggi Teologi Katharos Indonesia, Bekasi adolfbastian2b@yahoo.com
The purpose of writing the article is to explain the spiritual requirements or moral standards that must be met by church overseers and become a benchmark for today’s ministry. The purpose of the explanation is to: (1) provide information for God’s servants regarding matters related to church overseers, especially requirements that are in accordance with God’s Word; (2) making sure that overseeing the church is a beautiful and noble job; and (3) providing understanding and knowledge as well as being a guide in appointing servants. The research method used is descriptive analytic, used to explain the qualifications of church overseers as conveyed by the apostle Paul to Timothy (1 Tim. 3:1-7). This study shows that being an overseer of the church must consistently meet the absolute requirements set by God. There are several attitudes that must be possessed by God’s servants, namely: obedience, loyalty, humility, and love. The conclusion of the research is that the requirements for church overseers must be implemented in the election of church overseers. These requirements are categorized into three parts, namely: (1) includes moral perfection; (2) possession of positive life qualities; and; (3) have maturity in faith.
Keywords: moral standards, church overseers, implementation, church servants.
Tujuan penulisan artikel adalah untuk menjelaskan syarat rohani atau standar moral yang harus dipenuhi penilik jemaat dan menjadi patokan bagi pelayanan masa kini. Tujuan penjelasan adalah untuk: (1) memberi informasi bagi hamba Tuhan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penilik jemaat, khususnya syarat yang sesuai dengan Firman Tuhan; (2) memastikan bahwa penilik jemaat adalah pekerjaan yang indah dan mulia; dan (3) memberi pemahaman dan pengetahuan serta menjadi pegangan dalam mengangkat pelayan-pelayan. Metode penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitik, digunakan untuk menjelaskan syarat-syarat penilik jemaat sebagaimana disampaikan rasul Paulus kepada Timotius (1 Tim. 3:1-7). Kajian ini memperlihatkan bahwa menjadi penilik jemaat harus tetap konsisten memenuhi syarat mutlak yang ditentukan oleh Allah. Ada beberapa sikap yang wajib dimiliki oleh para hamba Tuhan, yaitu: ketaatan, kesetiaan, kerendahan hati, dan mengasihi. Kesimpulan penelitian adalah bahwa syarat-syarat penilik jemaat wajib diimplementasikan dalam pemilihan penilik jemaat. Syaratsyarat tersebut dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) mencakup kesempurnaan moral; (2) kepemilikan sifatsifat hidup yang positif; dan; (3) memiliki kedewasaan dalam iman.
Kata kunci: patokan moral, penilik jemaat, implementasinya, pelayan gereja.
Kriteria atau patokan moral bagi penilik jemaat menjadi bagian penentu dalam keberlanjutan dan keberhasilan pelayanan. Seorang rohaniawan (pelayan Tuhan) yang memenuhi syarat sebagai penilik jemaat akan menjadi pemimpin rohani pada umat dan sifat tersebut dapat nampak dari sikap dan perilaku yang ditampilkannya. Nisbah penilik jemaat dengan jemaat dalam pelayanan tentang baik dan tidaknya sangat ditentukan oleh faktor kepribadian. Artinya, baik dan buruknya perilaku yang ditampilkan masih dapat diantisipasi apabila sejak dari awal dilakukan pemilihan pelayan (penilik jemaat) menurut patokan-patokan yang ditetapkan Allah dalam firman-Nya. Berupaya melakukan peningkatan diri menganai pemahaman dan pengertian kedudukan dan fungsi penilik jemaat serta tanggung jawabnya. Melalui pemahaman yang dimiliki tersebut maka dengan pertolongan Roh Kudus pasti dapat menyadarkan dirinya untuk segera memenuhi tuntutan moral dan jabatan dalam pelayanan serta memiliki kemauan meningkatkan kedekatan dirinya terhadap Allah. Pada akhirnya mereka dapat dan mampu melakukan pelayanan yang dipercayakan dengan sebaikbaiknya.
Dalam surat 1 Timotius 3:1-7, rasul Paulus menjelaskan dan menyampaikan beberapa syarat atau patokan moral penilik jemaat kepada Timotius. Karena pelayanan Tuhan adalah suci dan mulia, maka pelayan Tuhan dalam segala tugas yang diembannya merupakan pekerjaan mulia juga dan harus dilakukan berdasarkan panggilan Tuhan (Ef. 4:8-11). (Brill, W. J., 1996: 31). Pemahaman dan patokan moral tersebut mengingatkan pemimpin gereja, bahwa penilik atau penatua jemaat harus memiliki dan memenuhi kriteria dan dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Dalam rangka mengejawantahkan tugas panggilan yang diterimanya, gereja perlu menata (memanage) pelayan dan pelayanan dengan baik dan salah satunya melalui pemilihan dan penetapan penilik (pelayan) jemaat. Sanders mengatakan, penilik jemaat bukanlah kedudukan yang mudah merupakan suatu kedudukan yang banyak mengandung bahaya yang besar dan tanggungjawab yang berat karena seringkali diberikan upah dengan kesukaran, hinaan dan penolakan. (Sanders, 1979: 9–10). Berdasarkan pemahaman ini, penilik jemaat harus mampu memenuhi syarat yang ditentkan dan menanggung segala akibat yang ditimbulkannya jika tidak dilakukan denga serius. Paulus menyebut tugas tersebut sebagai jabatan terhormat dan pekerjaan tersebut merupakan hal mulia. Namun penekanan utamanya bukanlah pada jabatan tersebut melainkan pada fungsi sebagai penilik jemaat.
Istilah penilik jemaat berkaitan dengan sebutan gembala dan penatua. Sebutan-sebutan tersebut mempunyai arti yang sama, yaitu: menunjuk kepada pengawas jemaat. Penatua dan penilik jemaat merupakan dua nama untuk kedudukan atau jabatan yang sama (Tit. 1:5,7). Penilik jemaat memiliki tugas untuk memelihara dan melindungi keseluruhan jemaat. Alkitab Perjanjian Lama menggunakan istilah Ibrani, yaitu: רעה (ra’ah) untuk menyebut gembala. Kata ini terdapat 173 kali dipakai untuk menggambarkan aktivitas atau tindakan memberi makan kepada domba-domba (Kej. 2
:7) dan juga manusia (Yer. 3:15), berbunyi: “Aku akan mengangkat bagimu gembalagembala yang sesuai dengan hati-Ku; mereka akan menggembalakan kamu dengan pengetahuan dan pengertian.” Istilah penilik dalam Perjanjian Baru menggunakan kata: ποιμην (poimēn) umumnya diterjemahkan dengan gembala. Kata ini digunakan sebanyak 18 kali, dan salah satu contohnya dalam Efesus 4:11, “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembalagembala dan pengajar-pengajar.” Yesus adalah figur gembala (Yoh. 10:11).
Kata pastor atau gembala bersinonim dengan penatua (presbuteros) atau penilik jemaat dan dikenal dengan uskup (episkopos) (Kis. 20:17). Menurut para ahli, praktik pemisahan jabatan antara pastor dan bishop baru terjadi sekitar abad ke-2. Rasul Paulus menasihatkan agar tugas penilik jemaat tidak diberikan dengan sembarang. Sebab para pelayan adalah pilihan dengan melayani Tuhan dan menjadi panggilan terhormat dan terindah (3:1). Guna menjaga kemurnian dalam pelayanan, maka harus ditentukan berbagai syarat yang harus dipenuhi atau kriteria khusus untuk orang yang ingin melayani dan dapat diposisikan dalam melakukan pelayanan. Syarat-syarat tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa bagian. Pertama, kesempurnaan moral; kesetiaan dalam pernikahan; kemampuan menahan emosi; tidak korup dan bukan pemabuk; hidupnya menjadi kesaksian dan memiliki reputasi yang baik. Kedua, mempunyai sifat-sifat positif yang tepat. Ketiga, memiliki kedewasaan rohani.
Paulus melihat bahwa penilik jemaat merupakan pekerjaan mulia. Alasan inilah yang mendorong rasul Paulus mempersiapkan Timotius menjadi gembala bagi jemaat di Efesus. Orang-orang yang menghendaki jabatan sebagai penilik jemaat hendaknya menginginkan pekerjaan tersebut dengan motivasi yang benar. Sebab pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang mulia dan pekerjaan tersebut berkaitan dengan kekuatan mempertahankan iman, sikap dan mutu pengabdian. Pemikiran Paulus ini sangat kontras dengan realitas pada saat ini, karena banyak orang percaya yang merasa enggan melayani menjadi penilik jemaat. Ada kemungkinan bahwa mereka saat itu belum mengerti arti dan tugas menjadi penilik jemaat. Atau banyak di antara jemaat yang ingin menjadi penilik tetapi tidak sesuai dengan norma moral yang ditentukan oleh Tuhan.
Pentingnya penentuan syarat bagi para penilik jemaat adalah sebagai ukuran, indikator dan standar moral etis yang harus dipenuhi. Hsueh Yu Kwong mengatakan bahwa hamba Tuhan, penilik jemaat dan penatua harus memimpin gereja dengan mengikuti teladan Kristus Yesus dan mampu menunjukkan kriteria rohani yang sesuai firman Tuhan di depan jemaat. (Kwong, 2009: 3–4). Keberhasilan pelayanan gereja sangat ditentukan oleh kondisi para pelayan Tuhan, sebab apabila penilik jemaat mampu menunjukkan teladan hidup baik dan keseriusan melayani. Kontribusi besar penilik jemaat ini, membuktikan bahwa standar moral para penilik jemaat dalam 1 Timotius 3:1-7 adalah hak yang urgen perlu untuk diimplementasikan para hamba Tuhan di masa kini. Berkaitan dengan itu, penulis menemukan beberapa permasalahan dalam pelayanan.
Pertama, banyaknya yang menghendaki dan menginginkan jabatan sebagai penilik jemaat namun tidak memenuhi syarat rohani sebagaimana disampaikan dalam surat 1 Timotius 3:1-7. (Sanders, 1979: 9–10). Kedua, tafsiran harafiah, yang menganggap bahwa penilik jemaat tidak boleh beristeri lebih dari pada satu orang pada waktu menjabat sebagai penilik jemaat atau jika isteri telah meninggal dan menikah lagi dapat dibenarkan menjadi penilik jemaat. (Brill, W. J., 1996: 24). Oleh sebab itu, konsep ini bertentangan dengan pemahaman alkitabiah.
Ketiga, penilik jemaat seringkali menganggap jabatan tersebut sebatas lambang atau jabatan pribadi dengan bentuk motivasi popularitas pribadi. Kasus ini umumnya terjadi di gereja-gereja pedalaman. (Wagner, 1990: 9–10). Keempat, banyaknya penilik jemaat yang tidak memiliki pemahaman yang benar secara alkitabiah dan benartentang dengan Firman Allah. Kelima, terdapat adanya pengangkatan penilik jemaat tanpa memiliki pemahaman yang benar dan belum memenuhi standar moral yang ditentukan dalam firman-Nya (1 Tim. 3:1-7), sehingga pelayanan tidak maksimal. (Albineno, 1999: 43– 46). Keenam, penilik jemaat tidak dihormati oleh jemaat dan tidak dihormati oleh isterinya maupun anak-anaknya sehingga tidak memiliki wibawa. Jadi, pemahaman ini tidak sesuai dengan syarat penilik jemaat (1 Tim 3:6), dan penilik jemaat harus dihormati oleh keluarganya
. (Albineno, 1999:28).
Penulis menggunakan metode deskriptif dan analitik. Penelitian ini bersifat deskriftif dimaksudkan untuk menjelaskan dan menafsirkan data yang berkaitan dengan topik kajian; dan juga bersifat analitik karena data yang dikumpulkan akan dikaji, dianalisis, dijelaskan dan dirumuskan hasilnya (Surakhman, 1998: 139–140). Analisis juga berarti suatu usaha untuk mencari bagian-bagian yang menjadi komponen utama dari data yang dihimpun (biasanya masih bersifat luas), kemudian disusun dalam suatu bentuk kerangka pengertian yang terfokus pada subjek penelitian berkaitan dengan masalah syarat penilik jemaat berdasarkan surat penggembalaan 1 Timotius 3:1-7 dan implementasinya bagi hamba Tuhan masa kini. Data mengenai pemuridan diperoleh dari studi literatur (kepustakaan), terutama Alkitab. Namun supaya penulisan ini bersifat ilmiah (objektif) maka penulis menggunakan juga studi literatur atau karya tulis ilmiah lainnya yang mengulas hal-hal yang berkaitan dengan penilik jemaat. Maka, untuk melengkapi hasil penelitian ini, penulis juga memanfaatkan buku tafsiran yang berkaitan dengan surat 1 Timotius, kamus teologi dan ensiklopedia Alkitab. Prosedur penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan, kemudian dibaca, disimak, ditanggapi, dikritisi, dianalisis dan membuat struktur serta mengurai datanya. Dengan demikian, hasil akhirnya dapat membentuk wawasan benar dan berkenaan dengan penilik jemaat yang dilihat dari surat 1 Timotius 3:1-7 dan implementasinya bagi hamba Tuhan masa kini.
Surat 1 Timotius merupakan bagian dari surat-surat pastoral yang ditulis oleh rasul Paulus sendiri (1 Tim 1:1) kepada Timotius. Beberapa teolog pernah mempersoalkan perihal kepenulisan surat ini, namun gereja mula-mula dan bapa-bapa gereja tetap memutuskan dan menyatakan serta mengakui bahwa surat ini merupakan tulisan asli dari Paulus. Alasan-alasan yang diajukan oleh pengkritik pada masa itu adalah mengani bahasa dan gaya atau pola penulisan yang tidak khas dari pribadi Paulus; perlawanan surat-surat ini terhadap gnostik abad kedua. Kemudian ketidakcocokan antara surat ini dengan Kisah Para Rasul juga dilihat dari masa atau waktu perlakukan penghukuman mati rasul Paulus. Alasan utam penulisan surat 1 Timotius ini adalah untuk memelihara iman jemaat, dan memastikan kesinambungan gereja-Nya (2 Tim 1:14). (Wallis, 2008: 859).
Surat ini ditulis dari perasaan dan cinta kasih pribadi dan surat-surat tersebut lebih bersifat pribadi daripada bersifat umum. (Barclay, 2001: 9)Paulus menulis surat 1 Timotius diperkirakan sekitar tahun 64-65 M. Surat penggembalaan yang ditulisnya mencatat dan menyampaikan tiga hal yang menarik, antara lain mencakup: tema-tema pembicaraan, gagasan-gagasan dan kedudukannya. (Barclay, 2001: 9). Secara khusus, tujuan penulisan surat ini adalah untuk menasihati Timotius, anak rohaninya sendiri mengenai kehidupan pribadi dan pelayanannya. Paulus ingin mendorong Timotius agar tetap semangat mempertahankan kemurnian Injil dan memberikan pengarahan kepada Timotius mengenai berbagai urusan dan persoalan gereja di Efesus. Paulus menugaskan Timotius sebagai wakil rasuli untuk melayani.
Pesan utama yang disampaikan Paulus adalah agar tetap berjuang mempertahankan iman dan menjaga kemurnian pengajaran dari pengaruh ajaran-ajaran palsu yang sedang berkembang (1Tim 1:3-7). Salah satunya yang dilakukan dan diupayakan Paulus adalah menulisakan syarat-syarat penilik jemaat yang diterimanya dari Tuhan dan menyampaikannya supaya jemaat memahami kriteria pengangkatan penilik jemaat.
Analisa Teks 1 Tomotius 3:1-7
Perikop ini merupakan lanjutan dari 1 Timotius 2. Paulus memulai atau mengawali pembicaraannya dengan penyampaian berbagai persyaratan menjadi penilik jemaat. Syarat-syarat tersebut terdiri dari persyaratan personal (3:2-3), kehidupan keluarga (3:4-5), sikap hidup terhadap jemaat (3:5-6), dan berbagai hal mengenai
hubungannya dengan non-Kristen (3:7). (Lightfoot, n.d.: 181–209). Nats yang dituliskan berbunyi:
Benarlah perkataan ini: “Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.” Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis.
Jabatan menajdi penilik jemaat juga dipakai dalam Injil, Kisah Rasul dan surat-surat umum (bdk. Luk. 19:44: Kis 1:20 dan 1 Ptr 2:12). Kata kerja dari penilik, menunjukkan makna pada fungsi pokok menjadi penatua bahwa tugas dan fungsinya merupakan tanggung jawab penuh dan tugas dari setiap orang percaya (Ibr. 12:15). Istilah penatua dan penilik jemaat memiliki arti yang tidak berbeda (Tit 1:5-7). Kedua ungkapan ini dipakai untuk orang-orang yang serius melayani dan menghendaki jabatan sebagai penilik jemaat. Hal ini mengungkapkan sikap hati dan keinginan yang serius dan sangat sungguh-sungguh (Ibr 6:11; 1Ptr 1:12, Luk 22:15). (Wallis, 2008: 869–870). Orang yang menghendaki jabatan penilik adalah mereka yang sungguh-sungguh berniat dalam melayani dengan motivasi yang benar.
Penilik jemaat adalah jabatan yang terhormat dan merupakan pekerjaan yang indah dan mulia (1 Tim. 3:1). Maka, pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan dengan sembarangan sehingga para pelakunya harus memenuhi sejumlah syarat sebagaimana ditetapkan oleh Allah. Adapun syarat-syarat yang ditentukan tersebut adalah, sebagai berikut: seorang yang tak bercacat (1 Tim. 3:2). Mereka harus mempunyai reputasi yang
dan tak bercacat cela. Kata bercacat (ανεπιληπτοσ: anepileptos). Secara harfiah memiliki arti bukan di pegang. Hal ini berhubungan langsung dengan perilaku yang terbukti dan nyata benar. Kehidupan tidak bercacat ini mencakup kehidupan dalam pernikahan, rumah tangga, sosial dan usaha. Penilik jemaat hendaknya jangan sampai mendapat tuduhan melakukan perbuatan yang tidak senonoh (perbuatan tercemar) tetapi selalu mempunyai reputasi (nama) baik dalam masyarakat. Sehingga hidupnya tetap mampu menjadi teladan bagi banyak orang dan juga disukai banyak orang.
Pemimpin jemaat dalam penjelasan Paulus kepada Timotius, bahwa mereka adalah orang yang tidak dapat dicela (ανεπιληπτοσ: anepileptos). Ungkapan ini digunakan untuk sebuah kedudukan yang tidak mungkin dapat dilawan, suatu bentuk kehidupan yang tidak mungkin dapat dicela, suatu teknik atau metode yang sempurna dalam bertindak sehingga tidak dapat menemukan kesalahan didalamnya, kesepakatan-kesepakatan yang disetujui tidak dapat dilanggar. Seorang penilik jemaat (pemimpin) harus memiliki sifat yang baik dan jauh dari celaan-celaan yang buruk. Kata ini memiliki pengertian, hal yang tidak lazim, yaitu irrprehensible, tidak pernah ditemukan ada kesalahan padanya. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat dilakukan oleh musuh untuk menjebaknya. Karena itu, pemimpin harus berjuang mengupayakan agar dirinya tetap dapat menunjukkan kesucian hidup sehingga tidak ada samasekali ruang untuk mencela dirinya.
Frasa suami dari satu isteri (3:2). Menggunakan kata μιασmias (of one) γυναικοσ (wife) ανδρα (husband). Ungkapan ini memastikan bahwa laki-laki pada waktu itu memiliki atau terdapat di antara mereka banyak yang beristeri lebih dari satu dan bisa saja melakukan perbuatan perjinahan. Konsep ini menyatakan bahwa kesetiaan dalam suami-isteri adalah syarat mutlak jika ingin menjadi penilik jemaat. Paulus menegaskan, bahwa suamai yang ingin penilik jemaat haruslah suami dari seorang isteri (isterinya harus resmi dan syah). Mereka juga harus menjadi perinadi yang dapat menahan diri. Syarat dapat menahan diri (3:2) diungkapkan dengan kata αηφαλεον, artinya dapat menahan atau menguasai diri adalah salah satu sifat penting dalam kepemimpinan rohani. Mengoreksi diri adalah tindakan baik dan alkitabiah, hal ini dimaksudkan supaya
mereka dapat mengukur kapasitas dirinya sendiri, dan dapat menolong menemukan dari makna, sifat-sifat sebagai orang percaya. Syarat berikutnya adalah memiliki kepribadian yang bijaksana (sōfrōn) dan penuh sopan (kosmios). (Barclay, 2001: 118-126.). Kata bijaksana (3:2) atau ςωφρονα (sophrona) dapat diartikan dengan sikap berhati-hati, mempunyai pikiran yang sehat dan hikmat dan bijaksana. Ini adalah pola hidup yang dimintas dalam syarat menjadi penilik jemaat sesuai dengan Firman Tuhan. Seorang yang bijaksana berarti memiliki pikiran yang sehat dan smart, yaitu keadaan atau kondisi pikiran yang seimbang dan sifat batin dengan kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan mengekang dorongan nafsu. (Sanders, 1979: 34). Kata sōfrōn dengan bijaksana, kata ini dapat diterjemahkan dengan pikiran yang sehat, bijaksana, hati-hati, mampu mengendalikan diri, sederhana, dan mampu menahan hawa nafsu. Secara sederhana dapat diartikan dengan menjaga pikiran agar hidup tetap aman, nyaman dan sehat.
Syarat berikutnya adalah sopan (3:2) mengguankan kata κοςμιον (kosmion). Menunjuk kepada pribadi seseorang yang memperoleh datu menjadi terhormat karena sifat sopannya. Hidup tertib, berdisiplin dan memiliki tata krama yang tinggi. Mampu mendayagunakan seluruh hidupnya untuk mengembangkan semua potensi (karunia) yang dari Allah dan memiliki hikmat besar dan tetap konsisten menjadi orang yang tetap hidup dalam kesopanan. (Riggs, 1996: 25). Penilik jemaat harus memiliki tingkah dan perilaku serta sikap yang sopan, kehidupan yang baik sehingga dapat memantulkan keindahan dan keteraturan. Sopan santun berkaitan dengan kesejahteraan, kesehatan, keluarga, keadaan rumah tangga, dan sebagainya. Kesopanan dapat menimbulkan kelemah-lembutan dan merupakan sifat setiap orang percaya. Kesopanan menjadi sumber kehidupan penilik jemaat, dan dapat memancarkan kehalusan budi pekerti yang sejati dan menyenangkan serta berkenan bagi banyak orang. Pada saat itulah sebenarnya dan sesungguhnya bahwa kita sudah mengusahakan kepentingan orang banyak supaya mereka beroleh sukacita. Melaluinya, nama Tuhan dipermuliakan dan karena kesopansantunan hamba Tuhan dan hal itu dapat menjadi kesaksian hidup (surat Kristus) bagi orang banyak dan banyak jiwa (orang) menyukai dan akhirnya dimenangkan untuk Tuhan. Kata kosmios (sopan) karena kehidupan batinnya yang sōfrōn. Jadi, kata ini
tidak sekedar menjelaskan tingkah laku yang baik, tetapi menjelaskan kehidupan yang indah dan harmonis.
Penilik jemaat harus suka memberi tumpangan (3:2) disebut dengan menggunakan kata φιλοξενον (philoxenon) artinya adalah keramah-tamahan, kerelaan atau kesediaan untuk menerima tamu, tulus dan suka menolong atau peduli dengan sesama. (Sanders, 1979: 36). Semua pelayanan yang diterimanya dimaninya sebagai hal istimewa dan dilakukan bagi Tuhan. Seorang penilik jemaat, harus suka memberi tumpangan dan selalu bersukacita menyambut orang percaya dan hamba-hamba Allah masuk ke dalam rumahnya. Pada masa penganiayaan Kristen mula-mula, banyak orang-orang Kristen yang pindah dan memasuki kota-kta lain dan mereka dapat ditangkap dan dijual sebagai budak. Oleh sebab itu, rumah-rumah mereka harus terbuka untuk sesama. Paulus memerintahkan agar setia memberi tumpangan (Rm. 12:13) dan memberi dengan tidak bersungut-sungut (1 Pet. 4:9).
Kemudian, penilik jemaat harus cakap mengajar orang (3:2) menggunakan kata διδακτικον. Kata ini dapat diartikan dengan cakap dalam pengetahuan kitab suci, kerelaan dan kesedihan untuk mengajar dan mempunyai kemampuan menyampaikan Firman Tuhan. Penilik jemaat haruslah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan kemudian bertumbuh serta berpegang pada Firman Allah yang benar (1 Tim. 3:1-7). Diperintahkan supaya dapat berkenan, layak dan cakap dalam mengajar. (Riggs, 1996: 19). Seorang penilik jemaat perlu mendapat pendidikan, pengalamanpengalaman rohani yang pokok dan harus mempunyai pengetahuan yang lengkap akan Firman Allah. Pemimpin jemaat, bukan peminum (3:3) atau μηπαροινον (me paroinon). Artinya, bukan melarang minum anggur, tapi melarang menjadi ketagihan (terikat), kecanduan anggur atau sejenisnya. Seorang penilik jemaat selalu terikat dengan Firman Tuhan. Hidupnya harus mampu mengendalikan diri νεφαλιοσ (nephalios) dan bukan peminum (παροινοσ). Hal menarik adalah makna ganda dalam kata ini. Nephalios berarti mampu mengendalikan diri tetapi dapat juga berarti waspada atau berjaga. Paroinos berarti pecandu anggur tetapi dapat pula berarti suka bertengkar dan kejam. Penekanan utama
dalam hal ini adalah penilik jemaat tidak menggemari sesuatu yang mengurangi kewaspadaannya atau mencemarkan tingkah lakunya.
Penilik jemaat bukan pemarah (3:3) menggunakan kata μηπληκτην (me plekten). Pemarah adalah orang yang bertengkar atau berkelahi, orang yang cepat marah atau yang suka bertengkar. Suka menaruh dendam dan menimbulkan kepahitan serta bukan karakter Kristus. Penilik jemaat (pemimpin Kristen) bukan pemarah (plēktēs) atau bukan seorang pemukul (suka memukul). Seorang penilik jemaat, imam atau diaken yang melakukan pemukulan atau memukul orang-orang beriman jika mereka berbuat salah, atau memukul (menghajar dengan melukai) orang-orang yang tidak beriman jika mereka melakukan pelanggaran terhadap hukum, dan berniat untuk melakukan sesuatu yang menakutkan diperintahkan agar segera dipecat. Sebab Tuhan tidak menginginkan perbuatan penganiayaan dalam mengajar.
Syarat yang ditetapkan bagi penilik jemaat adalah bahwa mereka harus peramah (3:3), memakai kata επιεικη (epieike). Peramah adalah orang yang memiliki hati lemah lembut, sabar, murah hati, penuh dengan kasih Kristus. Kata bendanya adalah επιεικηια (epieikeia) menggambarkan bagian untuk membenahi keadilan dan sebagai yang benar dan lebih baik daripada keadilan itu sendiri. Trench mengatakan, dengan mempertahankan segala sesuatu yang tersurat secara harfiah dalam hukumhukum, lebih baik memberlakukan yang tersirat di dalamnya. Kata επιεικηια (epieikeia) adalah kemampuan memaafkan bagi kegagalan orang; memperhatikan pemberi hukum dan bukan hukumannya; memperhatikan maksud dan bukan tindakannya; memperhatikan keseluruhan bagian-bagiannya dan bukan sebagian-sebagian; memperhatikan sifat pelaku dalam jangka waktu yang lama dan bukan sesaat semata; mengingat kebaikan ketimbang kejahatan dan lebih mengingat segala kebaikan yang diterima daripada kebaikan yang telah dikerjakan; tahan disakiti; berharap dapat menyelesaikan persoalan dengan kata-kata ketimbang dengan tindakan. Jika ada persoalan, maka dapat segera diselesaikan menurut kebaikan dan berdasarkan pertimbangan pada kasih, kemurahan, keramahan dan menurut nasihat-nasihat Tuhan Yesus Kristus
Penilik jemaat adalah seorang pendamai (3:3) menggunakan kata αμαχον (amachon). Pendamai adalah sebutan bagi orang yang suka hidup dalam kedamaian, bukan perdebatan ataupun pertengkaran (2 Tim. 2:24,25).
Pada dirinya terdapat sifat suka memberi damai (αμαχον) dan kata ini dapat berarti segan untuk berkelahi. Ada orang-orang yang dalam hidupnya dan dengan hubungannya bersama orang lain selalu suka dan senang menyulut pertengkaran. Namun, pemimpin Kristen harus menghidarinya dan memilih berdamai dengan sesamanya. Berikutnya adalah bahwa penilik jemaat bukan hamba uang dan tidak memilih melayani karena keuntungan materi semata. Paulus juga mengatakan isi hati Tuhan dan kasih sayangnya kepada Timotius agar tetap mengajarkan standar kesalehan (iman) untuk kehidupan umat dan gereja. (Barclay, 2001: 132). Penilik jemaat harus hidup dengan benar sebagai seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anak (3:4) menggunakan kata τουιδιουοικου (tou idiou oikou). Memiliki arti bahwa penilik jemaat tersebut tidak ada ubahnya seperti melakukan perbuatan baik dan memimpin keluarga dengan benar. Maka, calon penilik jemaat harus sungguh-sungguh dapat mengurus keluarga dengan baik supaya ia dapat mengurus orang banyak.
Syarat selanjutnya yang ditetapkan Allah adalah janganlan ia seorang yang baru bertobat (3:6) menggunakan kata νεοφυτον (neophuton) artinya jika ada seorang yang benar-benar belum memiliki kedewasaaan hidup dalam hal-hal rohani, maka orang tersebut dipastikan belum siap dan belum mendapat kesempatan menjadi penilik jemaat. Calon penilik jemaat, masih harus perlu belajar dan terlebih dahulu mempersiapkan diri sebab dalam tugas pelayanan banyak menghadapi cobaan, tantangan dan penderitaan. Selanjutnya, penilik jemaat harus memiliki nama baik di luar jemaat (3:7) menggunakan kata καλην (kalen). Penekanan utama kata ini adalah bahwa pemilik jemaat harus berjuang dan berupaya keras menjauhkan diri atau menghidari dirinya dari segala bentuk perbuatan yang menghancurkan nama baik (reputasi). Namun berupaya menjaga diri agar memiliki reputasi (nama baik) dalam masyarakat dan jemaat. Penilik jemaat wajib membuang segala kemunafikan dan tetap berjuang untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan. Penilik jemaat (gembala) harus tulus
dan jujur serta bertindak benar dan adil serta memenuhi (mengimplementasikan) pesan Tuhan sebagaimana terdapat dalam 1 Timotius 3:1-7, tentang syarat-syarat menjadi penilik jemaat. Penilik Jemaat dalam Konteks Kekinian
Berdasarkan keyakina dan istilah-istilah yang dikenakan pada penilik jemaat. Mereka adalah para pemimpin yang memelihara dan memperhatikan perkembangan jemaat. Penilik jemaat yang berkenan adalah mereka yang memenuhi syarat yang ditetapkan dalam surat 1 Timotius 3:1-7. Hal ini menjadi dasar bagi hamba-hamba Tuhan melayani agar lakukan berkenan dihadapan Tuhan. Setiap hamba Tuhan harus memenuhi syarat sebagai pelayan. Penilik jemaat dalam konteks kekinian menunjuk kepada hamba Tuhan (dalam pengertian global yang mengambil bagian dalam pelayan), gembala siding, orang percaya dan pemberita Injil.
Hamba Tuhan mengacu kepada setiap orang yang sudah menekuni bidang-bidang pelayanan sesuai karunia yang diberikan Tuhan. Hamba Tuhan dalam pelayanan masa kini perlu menerapkan patokan moral secara konsisten. Karena itu, patokan moral dalam Surat 1 Timotius 3:1-7 sangat berfaedah bagi pemurnian motivasi menjadi hamba Tuhan dan semua orang Kristen yang ingin melayani. (Baxter, 2008: 157). Hamba Tuhan adalah pelayan Tuhan atau orang-orang percaya yang dipanggil, dipercayakan untuk melayani. Tuhan Yesus memanggil semua orang percaya untuk misi keselamatan dan mengajak supaya setia mengikuti-Nya (Yoh. 14:12).
Hal kedudukan sebagai hamba Tuhan merupakan suatu anugerah, penghormatan dan penghargaan yang sangat hebat dari Allah serta berkenan menjadikannya sebagai rekan atau mitra-Nya dalam pelayanan kasih karunia (Yoh. 3:16). Karena itu, hamba Tuhan harus dan wajib menghargai panggilannya dan memberi teladan pelayanan serta kemuliaan yang tertinggi bagi Kristus. Alkitab dengan tegas menjelaskan sikap moral bagi keteladanan hati hamba Tuhan. Hamba Tuhan wajib meneladani keteladanan dan kepribadian Yesus Kristus (Mar. 10:45). Memiliki hati yang tulus, rela dalam menolong, rela berkorban, mengabdi dan rela melayani dengan ikhlas serta merendahkan hati di hadapan Tuhan dan sesama, harus setia, teguh dan taat (Ams. 20:6). (Riemer, 2000: 11). Hamba Tuhan wajib memahami patokan moral penilik jemaat dan dalam penetapan dan pengangkatannya harus berdasarkan pada standar yang etika dan motral yang ditetapkan dalam 1 Timotius 3:1-7.
Gembala siding sebagai pribadi yang dipanggil dan dipercayakan Tuhan untuk mengabdi dan melakukan pelayanan perlu memperhatikan kriteria dan syarat yang ditentukan Allah. Gereja Tuhan membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang baik dan interaktif. Suasana interaktif tersebut merupakan hal mendasar bagi berfungsi dan bertumbuhnya pelayanan jemaat secara sehat. (Dale, 1977: 73). Kebanyakan gembala gereja menghadpi persoalan dan mengalami kegagalan karena ketidak memiliki keteladanan rohani yang benar. Gembala dalam hidupnya kurang menjadi teladan dan tidak menjadi panutan dalam hidup dan pelayanannya. Ada dua hal penting yang terdapat dalam makna pelayan, yaitu to send dan services (pengirim kabar dan pekerjaan yang berguna). Tugas pokok pendeta adalah memperlengkapi orang-orang bagi pelayanan. Gembala dipanggil melayani dan memelihara umat-Nya. Mereka adalah orang yang istimewa dan bagaikan cermin yang memantulkan terang Allah kepada orang lain. (Msweli, 2002: 38–39).
Gembala dapat disebut penilik atau pendeta, yaitu seorang yang bertugas untuk memelihara kawanan domba Allah dan tetap memiliki prinsip-prinsip hidup yang benar (1 Tim. 3:1-7). Gembala wajib terlebih dahulu menghargai dirinya sendiri agar dirinya mampu menghargai orang lain. Merendahkan hati dan tidak sombong, peramah, penuh sukacita dan kedamaian, tidak tamak, penuh dengan motivasi yang benar, mengasihi, berhati-hati dalam hidupnya dan waspada terhadap wanita agar hidupnya tidak tercemar. (Yeakley, 1995: 88–89). Gembala perlu memberi teladan yang baik, supaya jemaat dapat meneladani dan menuruti pengajarannya. Keteledanan mencakup kesetiaan pada pengajaran yang benar (1 Tim. 4:6). Menjadi teladan dalam perkataan, tingkah
.
kerendahan hati dan menggunakan kedudukannya untuk kebaikan dan kemuliaan Allah. Menjadi teladan dalam tugas dan tanggung jawab pelayanannya. Menjadi teladan dalam iman dan ketaatan kepada Allah. (Tanuseputra, 2012: 99–104). Menjadi contoh dalam hal apapun, di tengah jemaat, menjadi panutan, baik dalam tutur kata dan karakter agar dapat menumbuhkan iman jemaat dan nama Tuhan tetap ditinggikan. (Adiwijaya, 2011: 381–389).
Orang percaya adalah pelayan-pelayan Tuhan. Setiap orang percaya mendapat tugas dan panggilan pelayanan dari Tuhan. Oleh karena itu, mereka harus memenuhi syarat yang ditentukan Allah. Knowing God, J.I. Packer memaparkan beberapa sikap sebagai pelayan Tuhan, antara lain: (1) mengagungkan dan meninggikan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan; (2) bersyukur atas segala karya dan kasih-Nya (Rm. 8:28); (3) bersedia hidup menaati perintah Tuhan (Yoh. 14:15); (4) hidup dalam kerendahan hati (2 Kor. 3:5; Fil. 2:13); (5) bersedia diperbaharui Roh Kudus (Ef. 4:21-24), dan (6) menjaga kemurnian hati (1 Tim. 1:18). Banyak orang keliru memandang tugas pelayanan yang dilakukannya. Ada yang menganggap sepele, sambilan dan lain sebagainya. Ada beberapa sikap yang dikehendaki Tuhan, antara lain: (1) tugas harus dipandang sebagai kepercayaan yang dianugerahkan Allah (Kol. 1:25); (2) tugas yang dipilih disesuaikan dengan karunia Roh; (3) sikap penuh dengan disiplin dan tetap setia terhadap tugas pelayanan yang diterimanya (Mat. 25:23); (4) sikap mampu menyeimbangkan pelayanan, karier atau pekerjaanya dan memperhatikan keluarga, dan (5) melakukan pelayanan dengan hati tulus dan mengasihi Tuhan dengan segenap hati (1 Kor. 15:58).
Pelayanan menjadi kurang harmonis dan kurang berkembang karena adanya motivasi yang kurang murni, seperti: jemaat senang membentuk kelompok-kelompok (1 Kor. 1:10-17). Motivasi dari pemberita Injil yang memperberat pelayan (Fil. 1:17). Motivasi pelayanan lebih menyenangkan hati manusia daripada hati Tuhan (Gal. 1:10). Orang percaya harus memiliki sikap yang baik dan benar terhadap rekan sepelayanan. Menghargai sesama rekan (Fil. 2:1-4). Mempunyai sikap saling membutuhkan (Gal. 6:2).
Bersikap terbuka tanpa takut terluka dalam menyelesaikan masalah. Menegur dalam kasih (Ams. 28:23). Alkitab sendiri menghendaki segala sesuatunya berjalan dengan tertib (1 Kor. 14:33, 40), Roh Kudus mendatangkan ketertiban (2 Tim. 1:7).
Dalam pelayanan, seringkali dijumpai miskomunikasi, maka perlu, menghormati pemimpin yang telah ditetapkan Allah (1 Tim. 5:17). Mau berbicara dengan terbuka tentang berbagai kebijakan dalam pelayanan. Promosi dilakukan dengan tertib sesuai waktu Tuhan (Pgkh. 3:11), dan rela mengalami penolakan (1 Sam. 12:23). Memahami pentingnya regenerasi pelayanan yang sehat sehingga dapat bersaksi dengan leluasa. (1 Tim. 3:13). Orang percaya juga harus menjadikan dirnya sebagai hamba dan dan rindu memenuhi kebutuhan orang lain. (Venema, 1997: 17–19). Alkitab juga mengajarkan supaya setiap orang percaya memberi teladan dengan lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:29). Dan Rasul Paulus berkata: Kami berlaku ramah diantara kamu (1 Tes. 2:7). Disetiap pelayanan Rasul Paulus, dia selalu menunjukkan sikap rendah hati dan rela melayani dengan tulus dan ikhlas. (Leigh, 1996: 27–28).
Syarat-syarat yang ditetapkan Allah, juga berlaku bagi para penginjil (pemberita Injil). Yesus Kristus memberi perintah menjadi saksi (Mat. 28:19-20). Yesus Kristus memberitahukan tujuan gereja, yaitu memuliakan Allah. Allah mengutus murid-murid-Nya untuk menggenapi perintah misi. (Lawrence, 2004: 61–62)Panggilan untuk memberitakan injil tidak terbatas pada jawatan penginjil (Ef. 4:11). Secara alkitabiah, penginjil adalah orang percaya pada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Penginjil dan misionaris, wajib menjadi teladan. Keteladanan melalui kehidupannya. Tidak berkompromi dengan dosa baik melalui tutur kata maupun melalui sikap dan perilakunya. Harapan terbesar dar penginjil adalah bagaimana hubunganya dengan sesame dan Tuhan melalui peribadahan, penyembahan dan doanya. Dalam seluruh catatan tentang kegiatan pengabaran Injil, jelas terlihat bahwa kegiatan pararasul dan juga kegiatan gereja ditelusuri melalui saluran manusia sampai kesumbernya, yaitu Allah. Pemegang peran utamanya adalah Roh Kudus dan manusia hanyalah merupakan
alat-Nya dalam mencapai maksud Allah. Dari sejak semula sampai pada akhirnya Roh Kudus adalah penggerak utama dan pekerja utama. (Sanders, 1979: 177–178).
Patokan-patokan moral yang terdapat dalam 1 Timotius 3:1-7 merupakan patokan utama dan wajib diterapkan dalam kehidupan pelayan Tuhan. Sikap keteladanan hamba Tuhan turut menentukan keberhasilan pelayanan. Jemaat Tuhan seudah semakin Cerda dalam bersikap, sebab mereka sudah lebih memperhatikan sikap dan perilaku hamba Tuhan daripada ucapan-ucapan yang disampaikan. Hamba Tuhan benar-benar dapat menjadi panutan bagi jemaat dan orang lain. Berikut ini beberapa sikap yang harus dimiliki oleh para pelayan Tuhan dalam pelayanan.
Allah meminta ketaatn setiap orang percaya pada perintah yang diamanatkan-Nya. Ketaatan adalah salah satu bukti bahwa seorang pelayan siap dan memiliki kesediaan hati dalam melayani. Patokan moral yang disampaikan dalam 1 Timotius 3:1-7, khususnya bagi penilik jeamaat harus ditaati. Ketaatan merupakan dalam bahasa Ibrani disebut dengan syema. Kata ketaatan ini menekankan pada kemauan mendengar dengan tulus atau memegang perintah Tuhan dengan penuh kesetiaan. Hamba Tuhan harus mendengar dan memegang perintahperintah Tuhan. Ketaatan hamba Tuhan bersumber dari Allah dan didapatkan melalui keteladanan dan ketaatan Yesus Kristus kepada Bapa dengan mengosongkan diri-Nya (Fil. 2:6-8). Walaupun dalam rupa Allah, namun tidak melihat kesetaraan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba. Mengosongkan diri (kenoo) dari ke Allahan-Nya. Rasul Paulus menyampaikan beberapa prinsip dan etika hamba-hamba Tuhan. Supaya bekerja dengan segenap hati, segenap akal pikiran, segenap kreativitas, segenap keterampilan dan segenap kesungguhan (Kol. 3:22-25).
Hamba Tuhan harus memiliki kesetian dalam menerapkan firman Tuhan dalam seluruh kehidupan pelayanannya. Kesetiaan adalah tetap dan teguh hati, tidak mendua hati (2 Raj. 20:3). Setia kepada isterinya, setia kepada Allah dan setia kepada pelayanan. Pelayan Tuhan harus setia dan rela berkorban. Siap memberkati di tengahtengah penderitaan atau dalam penghinaan yang dialaminya. Pelayan Tuhan harus setia menjadi teladan bagi orang lain. Keteladanan timbul dari kesetiaan terhadap kebenaran, sehingga orang lain meneladani setiap kehidupannya. Paulus menyampaikan, bahwa hal yang dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercaya (1 Kor. 4:2). Hamba Tuhan harus setia dan berkomitmen menerapkan etika dan keseluruhan syarat rohani dalam melakukan pemilihan dan pengangkatan pelayan-pelayan-Nya demi terciptanya pelayanan yang baik sesuai kehendak Tuhan.
Hamba Tuhan masa kini harus memiliki kerendahan hati. Sebab kepercayaan dalam pelayanan semata-mata hanya karena anugerah Allah. Karena itu, tidak ada alasan untuk menyombongka diri dalam pelayanan. Keberhasilan dan kesuksesan, semuanya berasal dari Allah dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus. Kerendahan hati membawa kehormatan dan menerima pujian (Ams. 29:23). Tuhan menghendaki supaya semua orang merendahkan diri dihadapan Tuhan dan dihadapan manusia. Orang yang rendah hati adalah merelakan dirinya menjadi rendah dan tidak perlu mengaku dihormati. Dasar kerendahan hati adalah Kristus. Kerendahan hati bersifat paradoks.
Kristus mengatakan: barang siapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (Mat. 23:11-12). Yakobus menegaskan, “Rendahkanlah dirimu dihadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu (Yak. 4:10)”. Kristus memberikan keteladanan dalam kerendahan hati. Dia tidak mencari hormat (Yoh. 8:50), tidak mencari ketenaran (Yes. 42:2). Rendah hati dalam bergaul (Mat. 9:10).
Tidak memberontak (Yes. 50:5-6). Suka berdiam diri (1 Pet. 2:23). Rela melakukan pekerjaan yang hina (Yoh. 13:4-5) dan merendahkan diri sampai kematian. (Tanuseputra, 2005: 46). Tuhan menghendaki agar seluruh hamba Tuhan hidup rendah hati dan Tuhan meninggikannya. Seperti Bapa meninggikan-Nya. (Brill, J. W., 2003: 108).
Penilik jemaat (hamba Tuhan) harus mengasihi Tuhan, dirinya sendiri, keluarga dan jemaat. Mengasihi adalah hal mutlak dimiliki dan diterapkan setiap hamba Tuhan dalam pelayanan. Pelayan Tuhan harus mampu mengasihi, dan merupakan perintah atau hukum yang terutama (Mat. 22:34-40). Mengapa pelayan Tuhan harus mengasihi? Allah memerintahkan supaya manusia mengasihi Tuhan dan sesamanya. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budinya. Kunci kemampuan mengasihi Allah hanya karena rahmat-Nya. Hamba Tuhan yang dipercayakan dan dipanggil melayani mesti berjuang melakukan perintah Kristus, seturut dengan kehendak Allah (1 Tes. 4:3). Kasih melayani bukanlah hasil usaha manusia, dan dimana kasih itu hadir ia menunjukkan bahwa Allah hadir. (Aquinas, 2000: 249–250). Sesama hamba Tuhan atau pelayan Allah harus dapat saling mengasihi dan sesama orang percaya (umat) Tuhan juga wajib saling mengasihi dan itulah hukum yang terutama.
Rasul Paulus menasihati Timotius dan seluruh jemaat agar tugas menjadi penilik jemaat tidak diberikan atau dipercayakan kepada sembarang orang. Memang melayani Tuhan adalah mulia dan terhormat serta seuatu yang indah. Maka, karena mulianya panggilan tersebut, maka harus ada syarat atau kriteria khusus untuk orangorang yang dapat dipilih ke dalam pelayanan. Syarat-syarat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian. Pertama, kesempurnaan moral. Kedua, mempunyai sifatsifat hidup yang positif. Ketiga, kedewasaan rohani. Syarat menjadi penilik jemaat ini berasal dari Allah dan Roh-Nya membimbing dan mempersiapkan orang-orang yang tepat. Bagi para pelayan Tuhan, wajib menerapkan (mengimplementasikan) disiplin rohani yang murni,
karena dasar inilah yang membuat pelayanan tetap berkembang dengan baik. Penulis menyarankan supaya para hamba Tuhan sungguh-sungguh membaca dan memahami syaratsyarat mejadi penilik jemaat dan wajib menerapkannya (mengimplementasikan) dalam pengabdian pelayanan. Penulis juga memberikan rekomendasi kepada para peneliti dan pemerhati dan praktisi pelayanan untuk melakukan penelitian lanjutan guna mengembangkan penelitian ini.
REFERENSI
Adiwijaya, P. (2011). A Biblical Theologi of the New Testament,. Malang: Gandum Mas.
Albineno, J. L. C. (1999). Pedoman Praktis untuk pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Aquinas, T. (2000). The Aquinas Catechis, A Simple Explanation of the Catholic Faith by the Churuch’s Greatest Theologian. Mancher: Sphia Institute.
Barclay, W. (2001). Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Baxter, J. S. (2008). Menggali Isi Alkitab 4 Roma-Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Brill, J. W. (2003). Dasar yang Teguh. Bandung: Kalam Hidup.
Brill, W. J. (1996). Tafsiran Surat Timotius dan Titus. Bandung: Kalam Hidup.
Dale, R. D. (1977). Pelayanan Sebagai Pemimpin. Malang: Gandum Mas.
Kwong, H. yu. (2009). Sepatah Kata untuk Hamba Tuhan. Manado: Daun family.
Lawrence, B. (2004). Menggembalakan Dengan Hati.
Yogyakarta: Andi Offset.
Leigh, R. W. (1996). Melayani Dengan Efektif. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lightfoot. (n.d.). The Scripture Doctrine of the Church, Lig. Lightfoot: Christian Ministry.
Msweli, S. (2002). Gembala dan Pelayanannya. Bandung: Kalam Hidup.
Riemer, G. (2000). Seri Pembinaan Jemaat Penatua. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.
Riggs, R. M. (1996). Gembala Sidang yang Berhasil. Malang: Gandum Mas.
Sanders, J. O. (1979). Kepemimpinan Rohani. Bandung: Kalam Hidup.
Surakhman, W. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik (VIII). Bandung: Penerbit Tarsito.
Tanuseputra, A. A. (2005). Batu Penjuru. Surabaya: Bethani. Tanuseputra, A. A. (2012). Kepemimpinan Satu,. Surabaya: t.p.
Venema, H. (1997). Injil Untuk Semua Orang,. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wagner, C. P. (1990). Gereja Saudara Dapat Bertumbuh. Malang: Gandum Mas.
Wallis, W. B. (2008). The Wycliffe Bible Commentary. Malang: Gandum Mas.
Yeakley, T. (1995). Menjadi Pekerja Kristus. Bandung: Kalam Hidup.

Beri Komentar