DOKTRIN TRITUNGGAL:
PERKEMBANGAN DARI ABAD KE-16 HINGGA ABAD KE-19
Oleh:
Epiphania Evangelistha
Mahasiswa Program Pascasarjana Progran Studi Teologi
2025
Penelitian ini membahas perkembangan doktrin Tritunggal dalam sejarah gereja dari era Reformasi abad ke-16 hingga teologi modern abad ke-19. Doktrin Tritunggal, yang menegaskan Allah yang esa dalam tiga pribadi—Bapa, Anak, dan Roh Kudus—merupakan ajaran inti iman Kristen yang terus mengalami pengujian sepanjang zaman. Kajian ini menggunakan metode studi literatur terhadap karya teologis dan historis untuk menelusuri pemahaman Tritunggal dalam empat periode utama: Reformasi, Socinianisme dan Unitarianisme, Pencerahan, serta teologi abad ke-19. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Reformasi meneguhkan kembali dasar biblis Tritunggal, Socinianisme dan Unitarianisme menolak ajaran ini atas dasar rasionalitas, Pencerahan mendorong kritik intelektual yang memaksa gereja mengembangkan apologetika, sementara abad ke-19 menghadirkan reinterpretasi yang lebih menekankan pengalaman iman. Kesimpulannya, doktrin Tritunggal bukan ajaran statis, melainkan kebenaran iman yang selalu berdialog dengan konteks sejarah. Penulis menyarankan agar gereja masa kini menjelaskan Tritunggal dengan bahasa yang relevan, mendalami aplikasinya dalam kehidupan praktis umat, serta tetap menegaskan sifat ilahi Tritunggal sebagai pusat iman Kristen.
Kata kunci: Doktrin Tritunggal, Reformasi, Socinianisme, Unitarianisme, Pencerahan, Teologi Modern.
This study explores the development of the doctrine of the Trinity in church history from the Reformation of the 16th century to modern theology in the 19th century. The doctrine of the Trinity, which affirms the one God revealed in three persons—Father, Son, and Holy Spirit—is the core of the Christian faith and has continually been tested throughout history. This research employs a literature review of theological and historical works to trace the understanding of the Trinity in four major periods: the Reformation, Socinianism and Unitarianism, the Enlightenment, and 19th-century theology. The findings indicate that the Reformation reaffirmed the biblical foundation of the Trinity, Socinianism and Unitarianism rejected it on rational grounds, the Enlightenment fostered intellectual critiques that compelled the church to develop apologetics, while the 19th century introduced reinterpretations that emphasized religious experience. In conclusion, the doctrine of the Trinity is not a static teaching but a truth of faith that continuously engages with historical contexts. The author suggests that the contemporary church should communicate the Trinity in relevant language, explore its application in practical Christian life, and uphold its divine nature as the central truth of the Christian faith.
Keywords: Trinity Doctrine, Reformation, Socinianism, Unitarianism, Enlightenment, Modern Theology.
Doktrin Tritunggal adalah salah satu ajaran paling fundamental dalam iman Kristen. Sejak Konsili Nicea tahun 325 dan Konsili Konstantinopel tahun 381, gereja menegaskan bahwa Allah yang esa dinyatakan dalam tiga pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ajaran ini bukan hanya teori teologis, melainkan jantung dari iman Kristen, sebab menyangkut siapa Allah itu sendiri dan bagaimana Allah bekerja dalam sejarah untuk menyelamatkan manusia. Tanpa Tritunggal, sulit dipahami bagaimana Yesus Kristus dapat sekaligus disebut Allah dan manusia, serta bagaimana Roh Kudus berperan dalam kehidupan umat percaya.
Namun perjalanan sejarah membuktikan bahwa doktrin ini tidak pernah statis. Ia terus diuji oleh berbagai tantangan, baik dari luar maupun dari dalam tubuh gereja. Pada masa Reformasi abad ke-16, Martin Luther dan John Calvin menegaskan kembali ajaran Tritunggal dengan menekankan dasar Kitab Suci. Luther menekankan bahwa Yesus harus sungguh-sungguh Allah agar karya penebusan-Nya sah dan berkuasa menyelamatkan, sementara Calvin menata ajaran Tritunggal secara sistematis dalam Institutes of the Christian Religion. Reformasi dengan demikian mengembalikan fokus umat pada Alkitab sebagai sumber utama kebenaran iman.
Meskipun begitu, Reformasi tidak menutup pintu terhadap munculnya gerakan-gerakan baru yang menolak ajaran tradisional. Pada abad ke-16 dan 17, lahirlah Socinianisme, yang dipelopori oleh Fausto Sozzini. Gerakan ini menolak keilahian Yesus dan Roh Kudus, dan menafsirkan Kristus hanya sebagai guru moral. Dari Socinianisme kemudian berkembang Unitarianisme pada abad ke-17 dan 18, yang lebih ekstrem karena menolak seluruh konsep Tritunggal dan hanya mengakui monoteisme mutlak.
Selain gerakan internal, abad ke-18 ditandai dengan munculnya Pencerahan (Enlightenment) yang meninggikan akal budi dan ilmu pengetahuan. Para filsuf dan teolog rasionalis mulai mengkritik ajaran Kristen yang dianggap tidak logis, termasuk Tritunggal. Joseph Priestley, misalnya, menuduh bahwa doktrin Tritunggal bukanlah ajaran asli Yesus dan para rasul, melainkan hasil “korupsi” sejarah yang dipengaruhi filsafat Yunani. Kritik semacam ini membuat gereja harus menyusun kembali strategi apologetika dan belajar mempertahankan iman dengan cara yang lebih rasional dan argumentatif.
Pada abad ke-19, muncul arus baru dalam teologi yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher. Ia menolak pendekatan dogmatis yang terlalu abstrak, dan menekankan pengalaman iman jemaat. Bagi Schleiermacher, Tritunggal tidak harus dipahami sebagai teori metafisik, tetapi sebagai ungkapan pengalaman umat terhadap Allah dalam tiga cara: sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Pendekatan ini menjadi dasar teologi liberal modern, meskipun banyak dikritik karena dianggap terlalu subjektif dan melemahkan otoritas doktrin tradisional.
Fenomena-fenomena di atas menunjukkan bahwa doktrin Tritunggal selalu berada dalam dialog kritis dengan konteks sejarahnya. Tantangan demi tantangan yang muncul justru memperlihatkan pentingnya doktrin ini dalam kehidupan iman Kristen. Jika Tritunggal dikesampingkan, maka pemahaman tentang Kristus, Roh Kudus, dan karya keselamatan akan kehilangan dasar yang kokoh. Oleh karena itu, penelitian mengenai perkembangan doktrin Tritunggal dari Reformasi hingga abad ke-19 menjadi relevan, baik untuk memahami sejarah gereja maupun untuk menjawab tantangan teologis di zaman sekarang.
Tulisan ini memiliki kebaruan (novelty) karena menyajikan sintesis dari perkembangan doktrin Tritunggal sejak Reformasi hingga abad ke-19 secara kronologis, sekaligus menekankan respon teologi terhadap kritik rasionalistik. Dengan demikian, penelitian ini bukan sekadar uraian sejarah, tetapi juga analisis teologis yang menyoroti relevansi Tritunggal di tengah perubahan zaman.
Reformasi abad ke-16 merupakan tonggak penting dalam sejarah doktrin Tritunggal. Martin Luther menegaskan bahwa Kristus harus sungguh-sungguh Allah sejati agar karya penebusan di salib sah dan berkuasa menyelamatkan manusia. Ia berkata, “Jika Kristus bukan Allah sejati, maka keselamatan kita hanyalah fatamorgana.” (dikutip dalam Gonzalez, 2010).
Yohanes 1:1 menegaskan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Bagi Luther, ini berarti Yesus Kristus adalah Allah sejati sejak kekekalan. Jika Kristus hanya manusia, maka pengorbanan-Nya di kayu salib tidak mungkin cukup untuk menebus dosa seluruh umat manusia. Tetapi karena Ia adalah Allah, kematian-Nya memiliki nilai tak terbatas.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion memberikan penjelasan sistematis mengenai Tritunggal. Ia menulis, “Kita harus berhati-hati agar tidak mengacaukan pribadi-pribadi Allah, namun juga tidak memisahkan hakikat-Nya.” (Calvin, 1960). Calvin menegaskan bahwa Allah adalah satu hakikat dengan tiga pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Menurut penulis, kekuatan Reformasi terletak pada keberanian untuk kembali pada Kitab Suci, bukan bergantung pada spekulasi filsafat. Reformator ingin menekankan bahwa Tritunggal bukan produk akal manusia, melainkan wahyu Allah sendiri.
Setelah Reformasi, muncul tantangan besar dari gerakan Socinianisme, yang dipelopori oleh Fausto Sozzini (1539–1604). Sozzini berasal dari Italia, kemudian pindah ke Polandia, dan di sana ajarannya berkembang pesat. Socinianisme menolak doktrin Tritunggal karena dianggap tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan Kitab Suci.
Dalam Racovian Catechism (1605), salah satu teks penting Socinianisme, dinyatakan bahwa Yesus hanyalah manusia biasa yang diangkat oleh Allah menjadi Mesias. Mereka menolak keilahian Yesus maupun Roh Kudus. Sozzini menulis: “Kristus tidak memiliki sifat ilahi. Ia hanyalah seorang manusia yang diutus oleh Allah untuk membawa pengajaran moral kepada umat manusia.” (Williams, 1962).
Mereka menekankan penggunaan rasio dalam menafsirkan Alkitab. Baginya, jika sesuatu tidak masuk akal menurut logika, maka itu tidak mungkin berasal dari Allah. Oleh karena itu, misteri Tritunggal ditolak karena dianggap tidak rasional.
Menurut Berkhof (1996), “Socinianisme merupakan bentuk awal dari rasionalisme teologis, yang mengukur kebenaran iman dengan logika manusia semata.” Hal ini menyebabkan mereka menolak doktrin-doktrin inti lain seperti penebusan melalui kematian Kristus.
Unitarianisme merupakan kelanjutan langsung dari Socinianisme, namun dengan penolakan yang lebih radikal terhadap doktrin tradisional gereja. Jika Socinianisme masih memberikan tempat bagi Yesus sebagai guru moral yang diutus Allah, Unitarianisme menolak seluruh konsep Tritunggal. Bagi kaum Unitarian, Allah adalah satu pribadi yang absolut, tanpa pembedaan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus (McGrath, 2012). Mereka menekankan monoteisme murni, serupa dengan tradisi Yahudi, dan menolak apa yang mereka anggap sebagai “penyimpangan” dari ajaran Alkitab.
Gerakan ini berkembang kuat di Inggris pada abad ke-17, terutama melalui tokoh-tokoh seperti Theophilus Lindsey. Lindsey, seorang imam Anglikan, pada 1774 mendirikan Essex Street Chapel di London sebagai gereja Unitarian pertama di Inggris (Wright, 1994). Dari sana, gerakan Unitarian mendapatkan tempat yang semakin luas, terutama di kalangan kaum intelektual. Unitarianisme dianggap lebih rasional karena tidak menuntut keyakinan pada misteri teologis yang sulit dipahami seperti Tritunggal.
Di Amerika Serikat, pengaruh Unitarianisme semakin terasa pada abad ke-18 hingga ke-19. Harvard University menjadi contoh paling terkenal, di mana tahun 1805 posisi Hollis Professor of Divinity diisi oleh Henry Ware, seorang Unitarian. Keputusan ini membuat Harvard beralih dari ortodoksi Trinitarian menuju dominasi pemikiran Unitarian (Wright, 1994). Perubahan tersebut berdampak besar, karena Harvard melahirkan banyak pemimpin gereja yang kemudian menyebarkan teologi Unitarian di berbagai jemaat.
Bagi kaum Unitarian, Yesus tidak lebih dari seorang manusia teladan yang menunjukkan kasih Allah melalui hidup dan pengajarannya. Hal ini menimbulkan perdebatan besar, sebab pandangan tersebut meniadakan peran penebusan Kristus yang menjadi inti iman Kristen tradisional. Alkitab sendiri dengan jelas menegaskan keilahian Yesus, misalnya dalam Yohanes 1:1 dan Yohanes 20:28, di mana Tomas berseru kepada Yesus: “Ya Tuhanku dan Allahku!” Namun, bagi Unitarian, ayat-ayat ini ditafsirkan secara simbolis, bukan literal.
Abad ke-18 dikenal sebagai era Pencerahan (Enlightenment), yang menekankan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan kebebasan berpikir. Dalam konteks teologi, Pencerahan menimbulkan gelombang kritik terhadap banyak ajaran Kristen, termasuk doktrin Tritunggal. Para pemikir Pencerahan percaya bahwa kebenaran harus dapat diuji melalui akal budi. Ajaran yang dianggap tidak masuk akal, seperti konsep Allah yang esa namun dalam tiga pribadi, ditolak atau dipandang sebagai hasil pengaruh filsafat kuno (Pelikan, 1984).
Salah satu tokoh utama yang menolak Tritunggal pada masa ini adalah Joseph Priestley, seorang ilmuwan, filsuf, sekaligus teolog. Dalam karyanya History of the Corruptions of Christianity (1791), Priestley menyatakan bahwa Tritunggal bukanlah ajaran asli Yesus dan para rasul, melainkan hasil “korupsi” yang masuk melalui pengaruh filsafat Yunani (Priestley, 1791). Baginya, Yesus hanyalah manusia istimewa yang dipilih Allah untuk menyampaikan ajaran moral.
Selain Priestley, banyak filsuf Pencerahan seperti Voltaire dan Immanuel Kant juga menilai bahwa ajaran Kristen tradisional, termasuk Tritunggal, terlalu spekulatif dan tidak rasional. Kant, misalnya, dalam Religion within the Bounds of Bare Reason menekankan agama sebagai etika praktis, bukan sistem doktrin metafisik. Pemikiran semacam ini melemahkan posisi Tritunggal sebagai pusat iman Kristen dan menggesernya ke arah moralitas universal.
Namun, pandangan ini jelas bertentangan dengan kesaksian Alkitab. Yohanes 1:14 menegaskan, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Ayat ini menunjukkan bahwa Yesus bukan sekadar guru moral, tetapi Allah sejati yang masuk ke dalam sejarah manusia. Dengan demikian, klaim bahwa Tritunggal hanyalah hasil korupsi sejarah tidak memiliki dasar kuat secara biblis.
Pengaruh Pencerahan sangat besar terhadap kehidupan gereja. Rasionalitas ditempatkan di atas wahyu, sehingga doktrin Kristen dipaksa untuk “membuktikan” diri secara logis dan ilmiah. Hal ini membuat gereja tidak lagi bisa hanya berkata, “Tritunggal adalah misteri iman,” tetapi dituntut untuk memberikan argumen yang dapat diterima akal sehat.
Dampaknya, muncul perkembangan apologetika modern. Para teolog Kristen berusaha menjelaskan iman dengan cara yang rasional, historis, dan konsisten dengan perkembangan ilmu pengetahuan. McGrath (2012) menegaskan bahwa periode ini melahirkan bentuk apologetika baru yang menekankan bukti sejarah kebangkitan Kristus, dasar biblis keilahian Yesus, serta konsistensi logis doktrin Tritunggal.
Namun, Pencerahan juga menimbulkan krisis iman. Banyak jemaat dan pemimpin gereja terpengaruh oleh semangat zaman ini, sehingga mereka meninggalkan doktrin tradisional demi sebuah agama rasional. Paulus mengingatkan bahwa hikmat Allah melampaui hikmat manusia: “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia” (1 Kor. 1:25). Ayat ini menunjukkan bahwa iman Kristen tidak bisa direduksi hanya menjadi filsafat moral, karena inti kekristenan adalah karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus, yang sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia.
Memasuki abad ke-19, muncul era baru dalam teologi Kristen yang dikenal sebagai teologi modern atau teologi liberal. Tokoh utama dari perkembangan ini adalah Friedrich Schleiermacher, yang sering disebut sebagai bapak teologi modern. Dalam bukunya The Christian Faith, Schleiermacher menolak pendekatan dogmatis yang terlalu metafisik. Ia menekankan bahwa inti iman Kristen bukanlah rumusan doktrin, melainkan pengalaman iman jemaat (Schleiermacher, 1999).
Bagi Schleiermacher, inti iman Kristen terletak pada “perasaan ketergantungan mutlak kepada Allah.” Dari pengalaman ini, jemaat kemudian mengenal Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Dengan kata lain, Tritunggal bukan dipahami sebagai realitas metafisik yang kompleks, tetapi sebagai cara gereja mengekspresikan pengalaman iman kepada Allah dalam tiga bentuk relasi.
Teologi ini membuka jalan bagi berkembangnya teologi liberal modern. Teologi ini menekankan pengalaman subjektif, relevansi iman dengan budaya, serta keterbukaan terhadap kritik historis dan ilmiah. Hal ini membuat iman Kristen terasa lebih mudah diterima oleh masyarakat modern. Namun, banyak teolog ortodoks mengkritik pendekatan ini karena dianggap terlalu menekankan subjektivitas manusia, sehingga mengaburkan kebenaran objektif Tritunggal sebagai doktrin ilahi (Berkhof, 1996).
Alkitab sendiri menegaskan realitas objektif Tritunggal. Yesus berkata dalam Yohanes 14:9: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Pernyataan ini menegaskan bahwa Yesus bukan sekadar pengalaman iman, tetapi manifestasi nyata Allah di dalam dunia. Dengan demikian, meskipun Schleiermacher dan teologi liberal berusaha menjembatani iman dengan zaman modern, pemahaman mereka tentang Tritunggal tetap menimbulkan perdebatan teologis yang panjang.
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Analisis
Perjalanan doktrin Tritunggal dari abad ke-16 hingga abad ke-19 memperlihatkan dinamika yang kaya. Pada masa Reformasi, ajaran ini diteguhkan kembali melalui penekanan pada dasar Kitab Suci. Penegasan ini menunjukkan bahwa gereja pada saat itu berusaha menjaga inti iman Kristen dari pengaruh spekulasi filosofis yang berlebihan. Meskipun demikian, Reformasi juga membuka ruang diskusi baru, karena penekanan pada Kitab Suci menimbulkan beragam penafsiran yang kemudian memunculkan aliran-aliran kritis terhadap Tritunggal.
Socinianisme dan Unitarianisme menjadi contoh nyata dari upaya rasionalisasi iman. Kedua gerakan ini menolak keilahian Kristus dan Roh Kudus dengan alasan logika tidak dapat menerima konsep tiga pribadi dalam satu Allah. Analisis terhadap gerakan ini menunjukkan bahwa ketika iman dipersempit hanya pada kemampuan akal budi, maka misteri iman yang justru menjadi inti dari keselamatan Kristen akan tereduksi. Penekanan mereka pada moralitas memang memberi kesan praktis, tetapi kehilangan kedalaman teologis yang menjadi dasar Injil.
Pada era Pencerahan, rasionalitas dan ilmu pengetahuan ditempatkan lebih tinggi dari wahyu. Doktrin Tritunggal dipandang sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, sehingga muncul kritik tajam terhadap ajaran tradisional. Analisis terhadap periode ini memperlihatkan bahwa meskipun tantangan begitu kuat, justru lahirlah dorongan baru bagi gereja untuk mengembangkan argumen apologetis yang lebih rasional. Hal ini menunjukkan bahwa iman Kristen tidak berhenti pada tradisi, tetapi mampu berdialog dengan akal budi tanpa kehilangan esensinya.
Memasuki abad ke-19, muncul pendekatan baru melalui teologi modern. Schleiermacher dan para pengikutnya menekankan iman sebagai pengalaman subjektif jemaat. Analisis terhadap pandangan ini menunjukkan adanya upaya menjembatani iman dengan konteks modern yang sarat dengan filsafat dan sains. Namun, pendekatan ini memiliki kelemahan karena cenderung mengaburkan sifat objektif Tritunggal sebagai wahyu Allah. Jika Tritunggal hanya dipahami sebagai pengalaman manusia, maka ia kehilangan makna sebagai realitas ilahi yang sejati.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin Tritunggal adalah ajaran yang terus diuji oleh berbagai tantangan sepanjang sejarah, namun tetap menjadi pusat iman Kristen. Reformasi berhasil meneguhkan kembali dasar biblis Tritunggal, Socinianisme dan Unitarianisme memperlihatkan resiko rasionalisme teologis, Pencerahan memaksa gereja untuk memperkuat argumen apologetis, dan abad ke-19 menghadirkan reinterpretasi yang relevan tetapi berisiko melemahkan aspek objektif iman. Semua ini menunjukkan bahwa Tritunggal bukan doktrin statis, melainkan ajaran yang selalu berdialog dengan konteks sejarah dan budaya.
Saran Penulis
Berdasarkan analisis ini, penulis menyarankan beberapa hal. Pertama, gereja masa kini perlu menjelaskan Tritunggal dengan bahasa yang sederhana dan relevan, tanpa mengurangi kedalaman teologisnya, agar umat tidak mudah terpengaruh oleh pandangan rasionalistis yang reduktif. Kedua, penelitian teologi kontemporer sebaiknya mengkaji hubungan antara Tritunggal dengan kehidupan praktis umat Kristen, misalnya dalam liturgi, etika, dan pelayanan sosial. Ketiga, gereja dan akademisi perlu terus membuka ruang dialog dengan filsafat dan ilmu pengetahuan, sambil menegaskan bahwa Allah Tritunggal tetap menjadi dasar keselamatan dan pusat iman Kristen.
Calvin, J. (1960). *Institutes of the Christian Religion*. Philadelphia: Westminster Press.
Gonzalez, J. L. (2010). *The Story of Christianity: Volume 2*. New York: HarperOne.
McGrath, A. E. (2012). *Historical Theology: An Introduction to the History of Christian Thought*. Oxford: Wiley-Blackwell.
Pelikan, J. (1984). *The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 4*. Chicago: University of Chicago Press.
Schleiermacher, F. (1999). *The Christian Faith*. Edinburgh: T&T Clark.
Williams, G. H. (1962). *The Radical Reformation*. Philadelphia: Westminster Press.
Oberman, H. A. (1994). *The Dawn of the Reformation*. Grand Rapids: Eerdmans.
Berkhof, L. (1996). *History of Christian Doctrines*. Grand Rapids

Beri Komentar